Kesehatan

Pikiran Terasa Berat dan Tidak Fokus? Bisa Jadi Ini Tanda Kabut Otak, Begini Cra Mengatasinya

0

0

matajambi |

Rabu, 24 Des 2025 06:31 WIB

Reporter : Adri

Editor : Adri

Penyebab Kabut Otak: Mengapa Pikiran Terasa Berkabut dan Sulit Fokus? - (Freefik)

Berita Terkini, Eksklusif di Whatsapp

+ Gabung

MATAJAMBI.COM - Kabut otak bukanlah kondisi tunggal, melainkan hasil dari kombinasi faktor biologis dan kebiasaan hidup yang memengaruhi konsentrasi, kecepatan berpikir, serta daya ingat. Gangguan kognitif yang berlangsung lama kerap berkaitan dengan peradangan kronis, fluktuasi hormon, kekurangan zat gizi penting, kualitas tidur yang buruk, hingga stres sistemik yang terus-menerus.

Beberapa kondisi medis seperti COVID panjang, menopause, dan gangguan fungsi tiroid sering kali beririsan dengan faktor-faktor tersebut. Inilah sebabnya kabut otak terasa menyeluruh dan sulit dijelaskan, meskipun sebenarnya memiliki dasar biologis yang jelas.

Para tenaga medis tidak mengklasifikasikan kabut otak sebagai diagnosis mandiri, melainkan sebagai indikator adanya gangguan sistemik atau neurologis. Dengan evaluasi menyeluruh dan pendekatan perawatan yang dipersonalisasi mulai dari pemeriksaan laboratorium, perbaikan gaya hidup, hingga terapi yang tepat sasaran kejernihan mental kerap dapat dipulihkan secara bertahap.

Kurang tidur dan peradangan sistemik terbukti menjadi dua faktor besar yang menurunkan performa kognitif. Berdasarkan rilis dari National Institutes of Health, banyak penyintas COVID panjang masih mengalami gangguan kognitif yang dikenal sebagai brain fog, disertai kelelahan dan masalah tidur, jauh setelah infeksi mereda. Hal ini menunjukkan adanya gangguan berkelanjutan pada sistem saraf.

Baca Juga:

Empat Tahun Tanpa Putus, Wali Kota Jambi Terima Innovative Government Award 2025

Studi ilmiah mengungkap bahwa tidur yang terfragmentasi menghambat kemampuan otak membersihkan limbah metabolik dan mengganggu fungsi eksekutif. Tidur yang tidak berkualitas juga memperkuat sinyal inflamasi, sehingga fokus dan memori semakin menurun. Ketika kondisi ini bertemu dengan perubahan sistem imun—seperti pada COVID panjang atau penyakit inflamasi lain risiko gangguan kognitif kronis pun meningkat signifikan.

Menentukan penyebab kabut otak memerlukan pemeriksaan klinis terstruktur, termasuk evaluasi laboratorium yang komprehensif. Rujukan dari literatur ilmiah yang dihimpun oleh pusat data biomedis internasional menyebutkan bahwa pemeriksaan standar umumnya mencakup fungsi tiroid, kadar vitamin B12, serta panel metabolik seperti hitung darah lengkap.

Pemeriksaan darah membantu dokter mengidentifikasi kondisi yang dapat dibalik, seperti defisiensi vitamin, gangguan hormon tiroid, atau ketidakseimbangan metabolik lain yang meniru gejala gangguan kognitif. Dengan menggabungkan data biomarker dan riwayat klinis yang detail, kabut otak tidak lagi dianggap sekadar keluhan samar, melainkan masalah fisiologis yang dapat ditangani secara spesifik.

Kabut otak juga sering dipicu oleh efek samping obat-obatan dan gangguan komunikasi antara usus dan otak. Beberapa jenis obat dapat mengganggu keseimbangan neurotransmiter, sehingga kewaspadaan mental menurun. Di sisi lain, ketidakseimbangan mikrobiota usus (disbiosis) dapat memicu peradangan saraf yang berdampak langsung pada fungsi kognitif.

Baca Juga:

Dukung Ketahanan Pangan, IWO Batang Hari 'Touring' ke Sawah Petani Senaning

Laporan sains populer yang dirangkum oleh National Geographic menunjukkan bahwa kabut otak termasuk yang terkait COVID panjang berkaitan dengan peradangan yang memengaruhi penghalang darah-otak serta sistem saraf pusat. Temuan ini menegaskan bahwa kesehatan usus, sinyal imun, dan penyakit kronis saling terhubung dalam membentuk kabut mental yang berkepanjangan.

Untuk kasus gangguan kognitif kronis, sebagian dokter dan terapis merekomendasikan neurofeedback serta pendekatan nutrisi berbasis metabolik. Neurofeedback bertujuan melatih otak agar pola gelombang saraf menjadi lebih stabil dan terkoordinasi, sehingga perhatian dan fokus meningkat.

Intervensi yang lebih luas diterima adalah modifikasi pola makan, khususnya diet anti-inflamasi. Sejumlah tinjauan ilmiah mengenai kabut otak COVID panjang menyoroti bahwa perubahan gaya hidup dan rehabilitasi metabolik dapat membantu memperbaiki fungsi kognitif.

Diet ketogenik, yang mengalihkan sumber energi tubuh ke keton, berpotensi mendukung neuron saat metabolisme glukosa terganggu. Sementara itu, pelatihan neurofeedback terus diteliti sebagai alat tambahan untuk meningkatkan kejernihan mental. Meski masih memerlukan uji klinis skala besar, pendekatan ini menjadi pelengkap perawatan medis konvensional.

Sumber :

Share :

KOMENTAR

Konten komentar merupakan tanggung jawab pengguna dan diatur sesuai ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Komentar

BERITA TERKAIT


BERITA TERKINI


B.Arya

0

0

Kesehatan

Selasa, 30 Des 2025 14:40 WIB

BERITA POPULER