Kala itu, harian Boston Post menuliskan "OK" dalam judul berita sebagai bagian dari tren penyingkatan kata yang sedang digemari kalangan muda di Amerika Serikat pada dekade 1830-an.
Saat itu, banyak singkatan nyeleneh bermunculan, seperti “NG” untuk “no go”, atau “SP” untuk “small potatoes”.
Nah, "OK" sendiri diyakini berasal dari plesetan lucu “oll korrect”, yang merupakan versi salah eja dari “all correct”. Dari sinilah kata tersebut perlahan mendapatkan tempat dalam bahasa sehari-hari.
Baca Juga: Resmi! Indonesia U-17 Tembus Piala Dunia 2025, Ini Negara-Negara yang Juga Lolos dari 5 Benua
Seiring berjalannya waktu, kata "OK" melintasi batas negara dan budaya. Sifatnya yang pendek, mudah diucapkan, dan serbaguna membuat kata ini cepat diterima dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Istilah ini bahkan digunakan dalam diplomasi internasional, industri film, teknologi, dan tentunya dalam dunia komunikasi digital—dari email resmi hingga chat sehari-hari.
Meskipun terlihat simpel, kata ini dapat menyampaikan beragam nuansa emosional, tergantung pada intonasi dan konteksnya.
Dalam beberapa situasi, "oke" bisa menunjukkan persetujuan tulus, tapi dalam kasus lain bisa bermakna sarkastik atau bahkan pasrah.
Baca Juga: Resmi! Indonesia U-17 Tembus Piala Dunia 2025, Ini Negara-Negara yang Juga Lolos dari 5 Benua
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah ini diserap menjadi "oke" dan didefinisikan sebagai "kata untuk menyatakan setuju". Secara fungsi, maknanya tak jauh berbeda dengan versi aslinya dalam bahasa Inggris.
Menariknya, dalam masyarakat Indonesia, kata "oke" juga kerap digunakan dalam konteks informal maupun formal. Mulai dari ucapan setuju dalam percakapan santai, hingga konfirmasi dalam diskusi pekerjaan atau pernyataan resmi.
Fenomena "oke" menunjukkan bagaimana bahasa bisa berevolusi dari kesalahan penulisan menjadi istilah global yang mendunia.