Aditif ini banyak ditemukan dalam makanan ultra-proses seperti saus siap saji, makanan penutup berbahan susu, produk olahan lemak, dan kaldu instan.
Sementara itu, campuran kedua berasal dari minuman manis buatan, seperti soda dan jus kemasan rendah kalori.
Di dalamnya terdapat asam pengatur keasaman (asam sitrat, asam fosfat), pewarna buatan (karamel, anthocyanin), pemanis sintetis (aspartam, acesulfame-K), serta pengemulsi dan pelapis seperti gum arabic dan lilin carnauba.
Baca Juga: Hancur Lebur di Perempat Final! Timnas Indonesia U-17 Dibantai Korea Utara 0-6, Nova Arianto: Ini Pelajaran Pahit Menuju Piala Dunia
Marie Payen de la Garanderie, penulis utama studi ini, menyebut bahwa ini adalah riset pertama yang mengevaluasi dampak gabungan aditif dalam skala populasi umum.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa zat aditif sering dikonsumsi bersamaan dalam kehidupan nyata, dan campuran tertentu berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes.
                        
            
            
            
Hal ini membuka peluang baru untuk strategi pencegahan,” ungkapnya dalam siaran pers.
Meski sifat studi ini masih observasional artinya belum membuktikan hubungan sebab-akibat secara langsung para peneliti menekankan pentingnya memperhatikan pola konsumsi aditif secara keseluruhan, bukan hanya satu per satu.
Baca Juga: Promedia Teknologi Indonesia Gelar Halal Bihalal Idul Fitri 2025: Momen Seluruh Karyawan Jalin Silaturahmi
Masyarakat disarankan untuk lebih selektif dalam memilih produk makanan, terutama yang berlabel “rendah kalori” atau “diet”, karena sering kali mengandung pemanis buatan dan aditif kompleks.
Membaca label dengan teliti, menghindari produk ultra-proses, serta memperbanyak konsumsi makanan segar dan alami dapat menjadi langkah awal untuk menjaga kesehatan metabolik dalam jangka panjang.
Riset ini sekaligus menjadi alarm penting bagi industri makanan dan regulator, agar lebih transparan dan selektif dalam penggunaan aditif yang aman bagi kesehatan publik.