MATAJAMBI.COM - Tradisi makan anggur hijau di malam Tahun Baru kembali ramai diperbincangkan di media sosial. Banyak yang percaya bahwa ritual ini dapat membawa keberuntungan, termasuk mempercepat datangnya jodoh. Namun, benarkah kepercayaan tersebut memiliki dasar yang kuat.
Tradisi makan anggur saat pergantian tahun diketahui berasal dari beberapa negara, khususnya di wilayah Eropa dan Amerika Latin. Umumnya, orang memakan 12 butir anggur tepat saat pergantian tahun sebagai simbol harapan baik untuk 12 bulan ke depan. Setiap butir anggur dipercaya melambangkan doa, harapan, dan keberuntungan, mulai dari kesehatan, rezeki, hingga urusan asmara.
Hingga saat ini, tidak ada bukti ilmiah maupun ajaran agama yang menyatakan bahwa makan anggur hijau di malam Tahun Baru dapat mendatangkan jodoh. Kepercayaan tersebut lebih bersifat mitos dan tradisi budaya yang berkembang secara turun-temurun.
Pakar budaya menyebutkan bahwa ritual seperti ini biasanya berfungsi sebagai simbol harapan dan sugesti positif, bukan penentu nyata dalam kehidupan seseorang.
Dalam pandangan agama, khususnya Islam, jodoh merupakan ketentuan Tuhan yang tidak ditentukan oleh ritual tertentu. Usaha yang dianjurkan untuk mendapatkan pasangan hidup lebih kepada doa, ikhtiar, dan memperbaiki diri.
Secara logika, keberhasilan dalam menemukan jodoh dipengaruhi oleh faktor komunikasi, pergaulan, kesiapan mental, dan lingkungan sosial, bukan jenis makanan yang dikonsumsi saat malam pergantian tahun.
Meski demikian, makan anggur hijau di malam Tahun Baru tidak dilarang selama dilakukan sebatas hiburan atau mengikuti tradisi, tanpa diyakini sebagai penentu nasib. Masyarakat diimbau untuk menyikapi tren semacam ini dengan bijak dan tidak menggantungkan harapan hidup pada mitos semata.
Kepercayaan bahwa makan anggur hijau di malam Tahun Baru dapat mendatangkan jodoh hanyalah mitos yang berkembang di masyarakat. Tradisi ini boleh dilakukan sebagai bagian dari budaya dan keseruan pergantian tahun, namun urusan jodoh tetap ditentukan oleh usaha, doa, dan ketentuan Tuhan.
Pergantian tahun sebaiknya dimaknai sebagai momentum refleksi dan memperbaiki diri, bukan sekadar mengikuti kepercayaan yang belum terbukti kebenarannya.